Ngobrolin puisi bareng mas farid


Ngobrolin puisi bareng mas farid

Oleh : Hadi Ibnu Sabil


Pada suatu kesempatan dimana orang orang berlibur kesana kemari, karena hari sabtu di purwakarta berbeda dengan hari sabtu di daerah lain. Aku dan teman-teman komuitas berniat ingin mengentahui makna lebih dalam lagi tentang puisi dan makna maknanya.

Farid saat itu bersedia menggantikan sang sastra yang tak bisa menjadi narasumber karena berbenturan dengan kegiatannya. Saya berharap sang sastra yakni kang rudy ariruda (ketua FTBM dan Perintis sanggar sastra purwakarta) bisa mengisi dilain waktu bersama kami, karena ngobrolin puisi yang sudah di awali oleh mas farid ini sangat seru dan membuat banyak pendengar dan pengamat menjadi penasaran yang amat mendalam tentang apa sosok “Puisi” yang sesungguhnya itu.

Dalam tulisan esainya mas farid berkata, Puisi tidak pernah datang dari ruang yang kosong, Dedi Mulaydi suatu ketika sesumbar bahwa  semua hal mengandung puisi, bahkan batin puisi dulu ada daripada bentuk dzohirnya, meski ia terdengar seperti melantur tapi dia ada benarnya,bahwa puisi berangkat dari ruang linggkupkehidupan pencipta dan apresiatornya.

Penyair penyair besar juga memiliki pandangan yang sama, sebut saja Sapardi djoko damono atau Aan mansyur yang mulai mengakrabi puisi melalui perpustakaan dirumah dan sekolahnya (entah sebagai penyai atau Cuma apresiator) benar benar tidak datang dari ruang yang kosong.

Namun mau tidak mau hari ini kita masuk kedalam dunia manusia  Gen Z/milenial yang serba ingin instan dengan segalanya. Saya katakan kalau manusia dulu itu memiliki 3 kalimat perjuangan untuk didapatkan yakni “Harta-Tahta-Wanita” sepertinya manusia manusia gen z ini, yang difasilitasi dengan serba “Net work/ Connecting” semakin saja membuat mereka cerdas dan kreatif. Namun hal demikian menjadi alasan mereka kenapa hari ini mereka lebih tidak suka dengan membaca apalagi sosok “puisi”yang katanyal”lebay”, “alay”,”so puitis” dan terus apalagi???

Hari ini kita  katakan bahwa hidup tanpa gadget dan kuota itu merasa mati, kesepian dan merasa asing. Kalimat Harta Tahta Wanita telah berubah menjadi “Kuota-Kuota-Kuota”. Maka saya harap meski demikian jangan sampai kita terlepas jauh akan segala esensi kalimat yang pernah diucapkan hati analisamu.
Bagaimana bisa kita membaca dan menganalisa sosial kalau seperti itu? Lalu bagaimana nasib sosok “puisi”ini? Apakah puisi pada zaman sekarang hanya menjadi rangkaian kata kata indah? Kalimat kalimat bijak? Sajak sajak tanpa jejak?

Berbeda dengan sosok puisi zaman dulu, seperti zaman tokoh Chairil Anwar dan Ws. Rendra, atau seperti zaman puisi sapardi djoko damono yang sangat indah dalam roman cinta, atau puisi puisi zaman  wiji thukul, soe hok djie, mahbub djunaedi dan gunawan muhammad yang penuh kalimat tentang demonstran pemberontakan sosial. Ini menjadi perihatin ketika orang-orang puisi menjadi sebutan golongan orang-orang alay nan lebay.

Sosok puisi yang kita obrolin saat itu  merujuk kepada sosok puisi harus menjadi spirit dalam bergerak melatih keterampilan berbahasa dan kepekaan, karena berpuisi adalah bagian dari kemasyarakatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi puisi "Takut 66, Takut 98" Karya "Taufik Ismail", Sumber energi bagi mahasiswa

SITUS CANDI CIBUAYA

Literasi Puisi Ramadhan