Secangkir Kopi, Kerinduan.


SECANGKIR KOPI, KERINDUAN

Oleh : HADI IBNU SABILILLAH

Bersama senja

“kemesraan hari adalah ketika senja hadir berteman secangkir kopi, menunggu malam yang berwujud kelam”

Hari semakin larut dalam hitungan waktu,  lambayung kuning datang lagi membawa ketentraman hati di setiap eloknya hari, tempat manusia diam entah dalam kesendirian ataupun ber’ramai-ramai, langit yang mulai bewarna kekuning-kuningan menyatakan datangnya senja, aku sedikit melamun dalam  waktu  sore itu, teringat senyumnya saat kehangatan dan manis nya kopi yang semakin membuat imajinasi ini semakin sempurna tentangnya.

senja

“Senja  hari tiba , yang kosong semakin kosong,
Yang berisi semakin terbebani, oleh ilusi yang mejadi jadi,
Cerah langit menggigit corak warna senja,
Kepahitan kopi menjadi mati, ketika datang siluet senyumu,
Manis dimata , menyimpan cinta”

Gadis  yang selalu mengundang kerinduan  itu bernama wida , seorang gadis yang tidak cantik, tapi banyak kaum pria yang jarang menyadarinya , apalah bila sudah terjerat oleh pesonanya, yang sederhana, anggun dan ceria itu, wajah wida merupakan perpaduan kontras antara senja  yang membawa  ketentraman, dan rembulan yang membawa kemesraan, apalah daya aksara  yang kian lahir menjadi sajak, puisi tentangnya.

sore itu,di bulan april 2017, wida sedang bercengkrama  dengan teman-temannya di pertengahan keramaian kota yang dipenuhi patung-patung wayang dan parapahlawan, taman-taman yang berhias bunga warna-warni , semakin menambah kesempurnaan indah di sore itu, senyumnya semakin membuat mataku ini erat memandangnya, bukan berbentuk siluet dalam bayang lagi, namun nyata tak tertepis dalam lamunan jiwa, kelembutan senyumnya mengirimkan pesan kerinduan yang tidak bisa aku lupakan dalam waktu yang sebentar, Di ujung barat kota purwakarta,matahari senja mulai terbenam cahayanya berpendar-pendar seolah melambaikan tangan kepergian, ketentramanku sedikit terusik, sigadis anggun itu  pergi meninggalkan jejak-jejak kerinduan, dan bayang-bayang harapan semakin tajam tergambar dalam lamunan, aksaraku kembali menjelma menjadi puisi, korban sigadis anggun dan periang itu.

Gadis manis

Senja telah usai, paras manis dengan tontonan gratis  itu ikut hanyut terbawa senja, Kini hanya malam berselimut sepi yang datang menghampiri,
Gemercik hujan tiba di bumi, menggenangkan kerinduan dan harapan,
Gadis itu manis, semanis pemanis kopi,
Gadis itu pahit sepahit keangkuhannya,
Semoga malamnya damai sedamai senyumnya, Malam, temani dia dalam mimpinya.


Nada sunyi

“Nada ber’irama sunyi datang menerkam jiwa-jiwa manusia yang di mabuk kesipian dan kebutaan tujuan yang berjalan tanpa arah”

Malam menari dalam nada kesunyian, lagi dan lagi malam itu datang kian berganti, aku tidak merisaukan malam apalagi membencinnya, hanya saja malam selalu menyelimutiku dalam kesunyian, secangkir kopi kembali hadir menenangkanku dengan kehangatannya, aromanya datang di sela aku merindukan wanita berparas ceria itu, larut malam aku semakin tersesat dalam alur kerinduanku, harapan yang menjadi hutan besar menyesatkan setiap jejak-jejak langkahku, sungguh kejam harapan ini, seandainya~.

Secangkir kopi

“ kita ini secangkir kopi, aku bersedia menjadi cangkirnya
Ku harap kamu menjadi kopinya, kita dalam satu cangkir,
Penikmatnya adalah malam, sunyi dan kerinduan. kasih”

Pagi itu, aku kembali mejalankan rutinitasku, ya.. sebagai mahasiswa di  salah satu perguruan tinggi yang ada di purwakarta, selain aktifitas sehari-hari ku sebagai penikmat senja dan pejuang pendidikan, akupun adalah seorang penyiar berita di salah satu media online yang ada di purwakarta, aksara selalu menemani hari-hariku di setiap waktu, apalagi ketika sunyi mulai menghampiri, ber’iramakan nada-nada yang mengundang kerinduan seakan-akan aksara menjadi kalimat, pragraf puisi tentangnya.

Sunyi

“aku adalah pengembala sunyi, diam kau hampiri aku, bergerak kau ikuti aku,
Aku adalah pemujamu dalam kesunyian dan pencintamu dalam kesepian,
Keramaian datang tapi bukan tentang banyaknya orang,
melainkan kerinduan yang bertubi-tubi layak hujan,
Aku adalah pengembala sunyi, dan kau adalah peramainya”

Siang dengan teriknya matahari, aku bergegas menenlusuri setiap pelosok desa di purwakarta, itulah tugasku mencari sebuah informasi untuk di publikasikan, saat itu tibalah aku di sebuah tempat dimana pertamakali aku mengenal diriku sendiri, tempat awal berkiprah hingga sampai saat ini akupun tak bisa lepas dari kesejukan udaranya, keindahan alamya, kesantunan pribuminya, dan tempat yang menurutku paling strategis letak geografisnya di kabupaten purwakarta.
Tempat yang bersejarah dalam hidupku itu adalah wanayasa, yaps... wanayasa daerah itu sunggu bersejarah dalam hidupku, banyak aksara-aksara yang tertulis  berisi pesan dan makna di setiap waktunya,  wanayasa ini adalah tempat dimana aku mencari sepi dengan ketentraman yang sangat tidak ter’usik.

Aku dan sunyi

“Aku, simuka kumuh berparas ria. Berjalan menikmati waktu di kermaian kota Harap, berharap dan mengharapkan. Dari cinta tumbuh bahagia.

Aku, penikmat senja bersorak gembira. Jalanku tak kotor hanya saja absurd tak ter'arah. Waktu menulis sejarah awal berkiprah Menunggu harap, di setiap aksara yang berparagraf.
Aku, simuda angkuh berwaja kumuh. Waktu berlari sepi menanti. Harapku cari cinta kunanti. Sorak senja di sore hari.
Aku, adalah mereka.  Mereka bukanlah aku. Aku penghuni sunyi dan mereka permainya”.


Sahabatku siang itu datang, dengan gaya rapih mengendarai motor tua, rambut gondrong dan berpostur tubuhnya tinggi, beliau asli orang wanayasa, namanya saddad, setiap aku pergi kewanayasa tak akan pernah lekang dengan sejuta curhatannya kepadaku, tentunya berisi bincangan santai mengenai masa depan dan perkembangan lingkungan, beliau juga adalah adik kelasku sewaktu sekolah dulu dan beliau juga adalah salah satu keluarga dari guru-guru ku saat aku menimba ilmu di podok pesantren al-hikamussalafiyah.
Saddad yang akan melanjutkan sekolahnya keperguruan tinggi negeri sempat bingung, dan curhat kepadaku “aku bingung harus meneruskan pendidikan ku di universitas yang mana dan mengambil jurusa apa?,
Jawabku, “kamu kan kemarin kursus bahasa inggris di pare, bro,,, bagaimana kalau mengambil sastra bahasa inggiris aja di universitas pendidikan indonesia bandung, menuruku itu akan sejalan dengan dasar kemampuan yang kamu miliki”,
Setelah melamun, sadad menjawab “ hhmmm,,, tapi aku tertarik ke psikologi, kalau untuk di bahasa insaallah sudah cukup bisa, itu hanya menjadi bekal nanti aja”.
Itu pilihan kamu bro, yakinkan di dalam hati jangan sampe salah langkah, jawabku.

Secangkir kopi siang itu sangat setia menemani, udara yang sejuk daun-daun yang berjatuhan semakin membuat daerah yang letak  geografisnya strategis itu semakin membuatku nyaman, dan kembali menulis puisi, tentang ketidak jelasan untuk apa manusia di hidupkan jika tidak patuh kepada perintah tuhan dan menjadi orang yang bermanfaat untuk masyarakat di sekelilingnya.

Jejak

Jejak adalah bekas dimana kita melangkah.
Setiap jejak adalah perkara yang sudah kita perbuat.
Pena, tuliskan aksra berbentuk cerita setelahnya.
Dengan nada kesunyian, berjiwa kehampaan.
Jejak yang tercatat mati terkubur dalam kedilemaan.
Karena melangkah tanpa membawa sampah tidak akan ter’arah.
Matilah hati dalam  mangkuk dunia yang fana
Tanpa sadar, tuhan selalu ada memperhatikannya.

Menebus rindu

“Rindu tanpa basa-basi datang, rindu tanpa pamit pergi, aku menebus rindu karena jarak dan waktu melewati malam, melalui musik, sajak dan puisi”

Kota kecil penuh pesona ini seringkali di juluki dengan panggilan kota istimewa, selain pembangunannya yang tertata rapih, kabupaten yang memliki 17 kecamatan,  170 desa dan 10 kelurahan ini, mempunyai kekayaan kuliner dan tempat wisata yang dimiliki desa nya masing-masing, yang sangat indah dan membuat banyak wisatawan berminat untuk mengunjunginya, keanekaragaman kultur, kesenian dan ciri khas makanan yang dimiliki di setiap pelosok desa yang ada di kabipaten purwakarta ini, memiliki nilai keindonesiaan yang tidak bisa kita pungkiri, nilai budaya kearifan lokal yang berjalan di purwakarta sangat kental dengan kesundaan nya, yang mana kita kenal dengan filosofi “ silih asah, silih asih, silih asuh dan gotong royong”.

Menbus rindu

Aku meyimpan sejuta harap di negeri ini, sejuta pesan untuk diri ini
Aku bersemayam di dalam kebodohan, namun cinta yang meneranginya
Jiwa-jiwa yang lemah mati berteriak tanpa arah
Kepada tuhan aku kembali, menebus rindu kekuasaannya.

Di sudut keramaian kota, malam itu tepat dengan hari minggu dimana setiap pinggir jalan pertengahan kota purwakarta  sangat ramai di penuhi anak muda, baik itu yang berkomunitas ataupun yang bercumbu rayu dengan kekasihnya, aku bersyukur dalam setiap waktu hari-hariku asyik selalu di isi dengan guyonan dan diskusi kecil yang selalu di adakan bersama orang-orang yang hebat dari berbagai kalangan di purwakarta, baik itu dari komunitas, organisasi, tokoh masyarakat, maupun para aktifis mahasiswa dan pelajar, mereka membuka cakrawala pemikiranku mereka pula yang membuatku sanggup merangkai kata, membuat sebuah kalimat dari ratusan hurup yang berbentuk aksra.
Dalam diskusi santai yang terdiri dari beberapa temanku yang menjadi seorang aktifis mahasiswa di purwakarta, diantara mereka bernama heru beliau berkuliah di stai dr khez muttaqien, pria berambut panjang berkumis tebal dan tatapan matanya yang tajam ini adalah sahabat dimana setiap malam menghabiskan secangkir kopi bersamanya. Kopi selalu menjadi perbincangan kita di malam itu, malam penuh kebodohan dari pertanyaan-pertanyaan yang sangat konyol di luar batas kesadaran manusia, disaat aku terdiam dan merenungi setiap langkah kehidupan, telingaku mendengar dunia tertawa begitu senang, menertawakan manusia-manusia yang tidak terkendali pikiran dan hatinya, menertawakan manusia-manusia yang lupa akan agamannya, yang lupa akan imannya dan yang lupa akan kenikmatan yang dia miliki.

Aku bersama tuhan

 “Malam begitu tenang melambangkang geram bersimbol bintang,
Keindahan tak pernah teragukan dalam setiap nada yang berbunyi kesunyian,
Suara-suara tertawa layak nada yang terpaksa muncul berbunyi
Aku bersama tuhan, tuhan selalu bersamaku
Didalam malam yang penuh harap”

Kopi kurang manis 

“Ada kekurangan pada secangkir kopi waktu itu, pada rasa yang berbeda, pada suasana yang tak rela,pada hujan yang tak reda, sedetikpun melupakan kemanisan senyumnya”

Kegembiraan selalu datang di sela-sela waktu yang tidak bisa diketahui, begitupun sama dengan kesedihan, Ada yang berbeda dari hari hari biasanya dan ada yang berbeda di prasa dan rasa sebelumnnya, wanita yang kusebut uwida itu benar-benar menghilang tanpa kabar, meninggalkan kerinduan yang hidup dalam jejak jejak langkahnya ditempat yang pernah dia singgahi,aku tidak sadar senja sore itu telah kembali membawaku tersesat didalam ruang kerinduan, Aahhh.... bodoh !!!,  pantas saja sore ini semuanya serasa berubah dan berbeda, ternyata kopi sore itu kurang manis. Tidak manis dengan seduhan kopi kopi sebelumnya, aku kembali diam dan termenung kembali kepada ingatan masa lampau, aku mendengar dia memanggilku dan membisikan pesan pesan yang pernah aku tangkap  oleh telinga ku, “A hadi, tetaplah menjadi diri sendiri, sederhana,dan apa adanya. namun ketika aku membuka mata,  itu hanya rindu rindu yang berwujud kesunyian, rasanya aku seperti di permainkan oleh malam, di koyak koyak oleh sunyi yang dendam kepadaku.

Ada rindu di dinding dinding kamarku

“Ada diantara yang tiada menjelma hawa.
Laki laki, jujur saja seperti tercambuk dan tersiksa
Malam malam ku adalah malam malamnya
Ada rindu di dinding dinding kamarku, tentang mu.

Hawa , hawa, hawa, dan adam.
Itu yang pernah diucapkan oleh sang baginda
Hawa, hiduplah kau dengan tulang rusuk ku.
Bersenandung hidup bersamaku, menebus rindu kekusaannya.

Hawa, ada rindu di dinding dinding kamarku tentangmu
Rindu yang bertuliskan sajak dan puisi untukmu
Rindu yang berbentuk do’a harap untukmu
Dan rindu atas nama, aku lalala padamu"

Tidak terasa waktu menunjukan jam 01:26 Wib, malam semakin berlarut jiwa ku semakin nyata berdiskusi dengan suara detik-detik jam dinding yang terpasang dikamarku, bernyanyi riang bersama suara suara jangkring tengah malam, aku bertanya kepada semesta, apakah ini adalah kerinduan? Yang banyak orang orang bincangkan, merindukan peristiwa-peristiwa hdup yang telah terjadi, merindukan yang telah tiada,  merindukan waktu waktu yang tidak bisa di ulang kembali? Apakah rindu sebuah peristiwa yang membahagiakan seseorang, atau sebaliknya?, menyedihkan dan membuat orang itu tersesat didalam kehidupan ruang yang selalu tentang hal-hal yang dirindukannya itu?, angin menyapa telingaku, seperti ada sesuatu yang akan di sampaikan oleh semesta kepadaku, aku diam, dan termenung lagi mensiasati gerak  gerik semesta. Seketika aku diam, pikiranku menangkap sebuah pernyataan yang begitu susah untuk aku definisikan. Mungkin ini jawaban dari semesta“Rindu itu seperti kabut, ketika jauh terlihat amat tebal segumpalan putihnya, namun ketika sudah kau dekati kabut itu akan menghilang”, yaaaps.!!! Menuurutku rindu-rindu yang digemari oleh para pecandu, seperti waktu waktu yang sudah aku lewati pada waktu lalu, tak sabar ingin berjumpa dengan gadis itu, namun ketika berjumpa dengan nya, semua memudar bergantian dari rindu rindu menjadi obrolan obrolan yang kaku.
Waktu adalah hati dari sebuah peristiwa, yang aku  ingat ketika aku menikmati sebuah peristiwa yang terjadi adalah waktunya, seperti ketika aku menikmati secangkir kopi ini, yang aku ingat adalah kamu (wida), serbuk serbuk hitam yang  menjadi cairan hangat dengan rasa ke khasanya ini membawaku kepuncak ketenangan, ini adalah penawar, obat obat disaat aku merindu berat. Sebelum aku terlelap dan hidup kembali di alam alam mimpi, semesta berpesan kepadaku melalui daun daun pohon yang jatuh berterbangan di hempas angin, “Tetap jaga pohon pohon ku” sebaliknya aku berpesan kepada semesta di sepi malam ini , “tetap jaga udara udara ku,aku hidup menikmati cantik dan fana mu dengan udara dan udara pula yang membuat aku cepat menua”.

Kemarau

Kemarau...
Rindu rindu terbang mencari telaga perjumpaan
Kemarau...
Hiuk piuk nyanyian nyanyian sunyi merdu di bawakan segerombolan angin malam
Kemarau...
Manusia manusia meninggal dengan perlahan
Diatas  gurun kegelisahan dampak kekemarauan rindu panjang
Kemarau..
musim panjang seperti waktu waktu yang sudah terlewat
Dengan penuh harap yang diselimuti doa doa manusia berhati suci.
Kemarauku kini panjang, seperti rindu rindu yang terkekang



Mencitaimu nasib atau takdir.??!

“Mencintai adalah anugrah yang tidak bisa manusia tolak, lalu jika angin tidak berwujud sedangkan Api itu berwujud,   mencintaimu adalah wujud dari Nasib atau takdir?”

kepada keramaian kota, aku kini menjadi gelandagan  yang paling beruntung diantara gelandangan gelandangan yang lain, bagai mana tidak? Setiap hari aku mendapatkan ilmu-ilmu yang gratis, ngopi-ngopi yang gratis dan bertemu dengan orang-orang baru, meski seperti itu waktu waktu yang lalu tidak akan aku biarkan terhapus begitu saja, kota purwakarta ini adalah awal dimana pertama kali aku mengusungkan niat dalam pencapaian karier, pada lamunan pagi itu ada kalimat yang melewat dalam pikiranku “Maju mundur adalah alur, diam gerak adalah jarak, hidup mati adalah proses, lalu  jika mencintaimu nasib atau takdir.?” Itu adalah pertanyaan yang lahir dalam lamunanku, aku masih menyimpan sebaris kalimat pertanyaan itu dalam jejak jejak setiap langkah  meski langit mendung niatku untuk menyelesaikan pekerjaanku tidak sedikitpun menjadi penghalang, tempat demi tempat aku singgahi gemuruh langit mulai sontar memberikan gemerlap cahaya dan gemuruh halilintar, tidak lama waktu itu dipenghujung desa sumurugul hujan mulai turun membasi bumi, terpaksa aku diam dalam sebuah gubuk yang melindungi untuk beristirahat sejenak menunggu hujan. Sekitar satu jam lamanya hujan mulai reda dan aku melanjutkan perjalananku menuju rumah ridwan.
Dengan kerinduanku yang pernah berdiam satu bulan lamanya di rumah ridwan, aku kembali datang untuk bersilaturahmi dan jujur saja aku sangat rindu dengan masakan emak (Ibu ridwan), aku datang dan langsung bertemu sang emak. aku mulai menyapa Assalamualaikum mak...
 walaikum salam... ehh cep hadi kamana wae lami teu ameng kabumi? Sehat cep? Ucapnya emak kepadaku.
  Alhamdulillah hadi sehat mak, emak sareng abah sehat?
Emak menjawab alhamdulillah emak sareng abah oge sarehat cep, mangga lebet kabumi...
Ridwan adalah sahabatku meski dia adalah adik kelas aku tidak pernah membedakan seberapa umur dan tahta yang kita punya.

Bersambung....

Komentar

  1. Saya penasaran sama Wida. Kata siapa dia tidak cantik?

    BalasHapus
  2. Sebenarnya dia cantik, hanya saja penulis tidak mau membuat dia, senyum senyumnya berlebihan saat membaca tulisan ini. Hehe

    BalasHapus
  3. Keren...
    Semoga jadi penulis yg sukses

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi puisi "Takut 66, Takut 98" Karya "Taufik Ismail", Sumber energi bagi mahasiswa

SITUS CANDI CIBUAYA

Kolecer, Permainan Tradisional yang Hampir Punah