Sajak Di Penghujung Jalan


Kuhempaskan segala keluh kesah kepada waktu yang semakin sendu, nada nada irama katulistiwa mengantarkan angin yang mencekik pada malam pelupuk jiwa, aku ditengah hamparan manusia disudut keramaian kota, menjadi hewan layak lumba lumba. Mengetahui segala berita, merasakan segala suka dan duka hingga menjadi abu abu dalam segala warna.
Di penghujung jalan, ada bayi bayi yang menangis haus nan kelaparan, di penghujung jalan ada gadis gadis yang menjual segala barang, di penghujung jalan ada anak anak muda yang sedang pesta huru hara, menikmati segala resah dan duka, menyelami segala bahagia dan dosa, aku adalah anak petani yang tidak tau apa-apa
Aku datang tidak tau dari mana asalnya, berjalan terus berjalan hingga menemukan segala yang ada di setiap penghujung jalan. Dipersimpangan jalan aku melihat banyak uang uang yang menjadi berhala tempat manusia menyembah, ada gadis gadis yang menjadi tuan segala nafsu budak pria.
Banyak manusia manusia yang menangis di persimpangan jalan, mengeluarkan darah dari matanya, jalan ini semakin fana namun semakin ramai, dipenuhi oleh orang orang tanpa sadar..
Di persimpangan jalan, ada banyak gedung gedung tempat dimana manusia mengadu, dipenuhi oleh manusia manusia yang sudah menua, dari mulai bentuk gedung yang berkubah hingga moncong keatas, ada yang mengeluarkan suara lantunan ayat ayat ketenangan, ada juga yang berdendang beribadah dengan nyanyian klasik lokal.
Dalam persimpangan kanan dan kiri jalan, ada banyak orang yang memakai topeng kebaikan, menjual segala produk kebijakan untuk kebajikan.
Ahh… Dengan tubuhku yang telanjang ini aku biarkan segalanya berlalu…
Kudekati manusia yang telanjang pula disana, terlihat sedang merenung dibawah gemerlap tihang di persimpangan jalan, aku menyentuhnya dan dia menatapku sangat tajam. Aku melihat wujud mukaku ada pada mukanya, aku terdiam dan saling memandang, seketika pandanganku hitam dan tubuhku terbanting jatuh kehamparan melebur menjadi persimpangan segala kisah dan kasih
Purwakarta 23 Desember 2017

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi puisi "Takut 66, Takut 98" Karya "Taufik Ismail", Sumber energi bagi mahasiswa

SITUS CANDI CIBUAYA

Kolecer, Permainan Tradisional yang Hampir Punah