Cerpen, Perempuan Itu Bernama Wida





Rindu adalah kutukan setelah aku mengenalmu”.

Dia, bukanlah serangkaian dari kelopak mahkota cerah yang menghiasi pinggiran kerasnya aspal abu dengan hembusan debu. Dia, bukanlah sekelompok awan cerah yang ikut menari-nari di atas pancaran nyanyian mentari pagi dan dia bukanlah merupakan suatu balutan pemata indah nan kemilau yang menyilaukan setiap mata yang memandang. Mungkin bagi sebagian orang, tidak ada yang akan pernah bisa memahaminya seperti aku. Bagiku, dia adalah seseorang yang tidak bisa aku baca dan pahami. Namun dia bukanlah sebuah perkara rumit untuk dipecahkan dan bahkan hal ini sudah menjadi kegemaranku sehari-hari seperti menjadi candu.


Peremuan itu bernama wida, dia adalah seseorang perempuan yang berbeda dengan perempuan yang hidup di seusianya, memiliki semangat yang tinggi, paras yang cantik, tubuh yang tingi,  pandangan yang luas, segudang prestasi, selau menebar kasih sayang kepada sekitarnya, tapi baginya tidak sedikitpun semua itu menjadi nilai yang lebih. Banyak orang yang tidak pernah tau. Mereka hanya akan memandangnya sama seperti udara yang hanya akan berlalu lalang tanpa sekelebat bayangan. wida meletakkan senyuman yang hangat dan lebar di setiap sudut ruang pengelihatan. Dia memamerkan segala keteguhan dan kegigihannya dalam setiap perkataan yang dia lontarkan. Keahliannya yang paling tidak dapat dipungkiri adalah untuk melakoni setiap tindakan yang ia lakukan. Orang - orang tersenyum kepadanya, mereka tertawa, mereka tidak tahu.


Aku mengenalnya dari sebuah diam – diam, yang setiap hari tak pernah berhenti dan bosan untuk memandangnya. Setiap pagi dia berjalan melewati rumahku, berjalan menuju pasar. Untuk berbelanja kebutuhan keluarganya. Aku mengengamati keanggunananya diam diam, aku tidak berani menyapanya bagiku melihatnya saja sangat bahagia, dan setiap pagi tidak pernah aku lewatkan kegiatan untuk memandanginya dari kejauhan.

Sore menjelang malam pada hari ini langit serasa ganas, gumpalan gas hitam bergumul menjadi satu di atas dirgantara. Cahaya metrowhite saling sambar menyambar. Memberi kesan mengerikan. Mendungnya gelap sekali, seperti ingin menjadi kawan untuk kepenatanku hari ini. Pekerjaan menumpuk dan tak ada habisnya, belum lagi tuntutan dari atasan yang menginginkan semua harus terselesaikan sesegera mungkin. Ah, aku ingin segera pulang dan istirahat melepas lelah. Capek sekali rasanya. Tapi cuaca sangat tidak mendukung. Pasti sebentar lagi akan turun hujan. Aku harus cepat cepat pulang.

Tapi sial, motorku mogok tak bisa dijalankan. Sepertinya aku telah dikerjai oleh keadaan. Menambah hawa panas dalam diriku. Rasanya ingin marah saja kalau sudah begini.
Akhirnya, motor kutinggalkan di tempat kerja dan mau tak mau aku harus berjalan ke halte yang jaraknya 100 m dari tempat kerjaku. Tidak ada cara lain kecuali harus naik bus kota. Sedangkan teman teman kerja tak ada yang rumahnya searah denganku. Jadi tak ada tebengan.



Angin berhembus kencang, mengiringi perjalananku. Dingin rasanya menyentuh tulang. Sesekali aku menggerutu mengungkapkan kekesalanku. Kaleng kaleng sampah yang tak bersalah ini pun jadi sasaran kemarahanku. Aku tendang dan terbang ke mana-mana. Kasihan ya?
Entah sudah berapa menit aku berjalan, hingga hanya butuh beberapa langkah lagi untuk sampai ke halte bus itu. Senang rasanya.
‘Pluk’, setetes air dari langit jatuh di dahiku. Kuusap dahiku dengan kasar. Aku pun mendongak ke atas demi menyaksikan, ‘benarkah hujan sudah mulai turun?’. Tetes demi tetes air mulai berjatuhan membasahi wajahku, dengan sigap aku berlari menuju halte yang tinggal beberapa langkah lagi. Ku-lap sekujur tubuh yang sedikit basah dengan tangan.
Aku duduk sendiri di halte ini, tak ada satu orang pun. Hanya kendaraan lalu lalang dan gemericik hujan yang membuat rame suasana. Aku terpekur menunggu bus kota yang tak kunjung lewat.


Hawa hangat tiba-tiba menyelimuti tubuhku. Sementara hujan masih turun dengan derasnya. Aku mendongak karena merasa ada sesuatu di atas kepalaku. Sebuah payung berwarna pink, dengan hiasan renda renda di pinggirannya, sedang menaungiku. Terlihat tangan seorang gadis, putih, bersih, dengan jari jarinya yang kata anak muda zaman now itu ‘Ciamik Pisan’. Tangan yang indah.


Aku tengok di sisi kiriku, berdiri seorang perempuan cantik, tersenyum renyah, ‘ohh manis sekali’. Gadis ini yang memegang payung pink itu. ‘Lalu untuk apa aku dipayungi? Kan haltenya udah ada atapnya?’, pikirku heran.

“Hai…”, sapanya lembut.
“Ohh, hai…”, jawabku gugup. Aku seperti salah tingkah memandang gadis secantik itu. Lalu aku sedikit menggeser posisiku untuk memberinya tempat. Sebenarnya masih banyak tempat, hanya saja itu adalah isyarat bahwa aku mempersilahkannya duduk. Dia pun duduk di sampingku, masih dengan payung pinknya di tangan kanan. Aneh memang.


Kami duduk bersama memandangi rintik hujan yang semakin riuh. Kami hanya diam. Sesekali aku meliriknya, ingin mencari curi wajahnya yang cantik itu. Untuk memandang nya pun aku tak berani, apalagi bicara. Lidahku terasa kelu. Aku memang lelaki cemen.

“Kenapa aa diam?”, katanya kemudian. Aku tersentak dari lamunan memandang hujan. “Eh, emm,.. e. Hehe”, aku hanya mengoceh tak jelas. Gugup rasanya. “Namaku wida , aa siapa?” “Eh, ..aku hadi.” jawabku seraya mengulurkan tangan. Dia pun menggapai tanganku, ‘deg’ aku seperti tersengat aliran listrik muatan rendah. Darahku berdesir deras, jantung berdetak kencang.Tangannya dingin, sedingin salju. Sekilas bulu kudukku merinding, namun aku tepiskan perasaan itu. Mungkin hawanya yang dingin membuat tangannya seperti itu.


“kamu sedang nunggu bus, ya?” tanyanya manis seraya memandangku lekat, aku semakin grogi. “Eh, iya…” jawabku. “Kamu hujan-hujan gini ngapain di sini, wid?” Akhirnya aku berani bertanya, suasana masih terasa kaku buatku. “Karna aku lihat aa sendirian di sini?” Aku terperanjat, benarkah? Ah, mungkin hanya lelucon.


Lama-kelamaan kita mulai mengobrol asyik, hingga akupun tak sadar kalau 2 bus kota sudah lewat dan berlalu. Obrolan sore ini dengannya membuatku lupa segalanya. Semua kepenatanku hari ini di tutup dengan perasaan bahagia. Hatiku mulai bergetar ketika kupandangi matanya yang sayu. Aku telah terhipnotis cinta hanya dengan waktu 45 menit.
Walau berat, obrolan sore ini harus aku cukupkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.25, sekitar 5 menit lagi bus kota terakhir akan lewat. Aku harus segera pulang. Kalau tidak naik bus ini, maka aku harus menginap di halte ini karena tak akan ada bus berikutnya.


“a hadi, bawa payung ini, ya? Siapa tau aa membutuhkannya nanti.” Begitu ucapnya sembari menyodorkon payung pinknya yang sudah ditelungkupkan. “Loh, ini kan payung kesayanganmu, kenapa kamu berikan padaku?” “Anggap aja sebagai kenang-kenangan dariku, setelah ini kita nggak akan ketemu lagi. Terima kasih atas waktunya sore ini. Walaupun hanya 45 menit, tapi bahagia rasanya.” Ucap gadis ini terasa aneh bagiku. Kenapa harus pertemuan yang terakhir? Besok-besok kan aku bisa datang ke tempat ini lagi untuk menemuinya.


Aku hanya diam meraih payung itu dari tangannya. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Selang beberapa menit bus itu datang, dan berhenti tepat di hadapanku. Dengan banyak pertimbangan dalam otakku, akhirnya aku memasuki bus kota yang telah menungguku ini.

“Makasih ya wid atas semuanya, aku sangat bahagia. Kapan-kapan kita ketemu lagi kalau ada waktu.” Ucapku yang terakhir padanya, dia hanya tersenyum.

Sesampainya di rumah, aku rebahkan tubuhku di sofa empuk di ruang keluarga dengan menikmati secangkir kopi hangat.

Betapa terkejutnya aku ketika ibu memukuli kaki ku untuk beranjak bangun dari tidur

“Heeh... bangu bangun, sudah pagi...” ucap ibu sambil memukuli badanku dengan pelan.

Aku terbangun “aah sial....” ternyata tadi itu hanya mimpi...

Bersambung...



Pengarang : Hadi albulaqi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi puisi "Takut 66, Takut 98" Karya "Taufik Ismail", Sumber energi bagi mahasiswa

SITUS CANDI CIBUAYA

Kolecer, Permainan Tradisional yang Hampir Punah